a.
Pengertian
Teori Integrasi
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, integrasi memiliki pengertian pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat.[1]
Menurut Kaplan, integrasi adalah proses dimana beberapa sistem yang terpisah
mengembangkan suatu kerangka kerja bersama dan memungkinkan untuk mengejar
beberapa tujuan bersama dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan bersama. [2]
Teori integrasi
internasional dianalogikan sebagai satu payung yang memayungi berbagai pendekatan
dan metode penerapan yaitu federalisme, pluralisme, fungsionalisme, neo-fungsionalisme,
dan regionalisme. Saat ini, banyak teoritisi integrasi memfokuskan diri pada
organisasi internasional dan bagaimana ia berubah dari sekedar alat menjadi
struktur dalam negara
Integrasi
politik menunjuk pada sebuah ‘proses kepada’ atau sebuah ‘produk akhir’
penyatuan politik di tingkat global atau regional di antara unit-unit nasional
yang terpisah. Pentland mendefinisikan integrasi politik internasional sebagai
sebuah proses di mana sekelompok masyarakat, yang pada awalnya diorganisasikan
dalam dua atau lebih negara bangsa yang mandiri, bersama-sama mengangkat sebuah
keseluruhan politik yang dalam beberapa pengertian dapat digambarkan sebagai
sebuah ‘community’.
Kesepakatan yang
dibuat atas integrasi ini adalah dalam kerangka penyatuan yang kooperatif bukan
koersif. Ambiguitas yang terjadi dalam pemaknaan ini adalah penggunaan istilah
proses ataukah hasil/end-product. Lion Lindberg berfikir bahwa “integrasi politik adalah proses di mana
bangsa-bangsa tidak lagi berhasrat dan mampu untuk menyelenggarakan kunci
politik domestik dan luar negeri secara mandiri dari yang lain, malahan mencari
keputusan bersama atau mendelegasikan proses pembuatan kebijakan pada
organ-organ kontrol baru.”
Strategi
Integrasi banyak digunakan di tiap-tiap kawasan untuk mencegah terjadinya
perang serta menjaga perdamaian. Dalam upayanya,strategi integrasi digunakan
dalam jangka panjang dalam mengurangi konflik di kawasan tersebut.
Dougherty dan
Pfaltzgraff menekankan dua hal penting dalam teori integrasi politik.
Pertama,sistem-sistem politik memperoleh dan memelihara keterikatannya karena
nilai-nilai bersama dan persetujuan umum tentang kerangka kerja sistem antar
anggota. Kedua, sistem-sistem politik menjadi kohesif (padu) dan terpelihara
karena kehadiran ancaman dari luar.
Strategi
Integritas sendiri sudah digunakan sejak zaman dahulu. Michael Haans
mengemukakan beberapa strategi integrasi yang pernah dilakukan antara lain :
1. Hegemonis
Upaya
mempersatukan melalui penaklukan (contoh : Napoleon,Hitler)
2. World
Federalist
Upaya
pemersatuan melalui sebuah otoritas yang dipusatkan dan bisa menekan ke daerah
lain dengan paksaan pusat (contoh : perubahan Koloni di Amerika dari
konfederasi menjadi struktur federasi)
3. Imperialis
Upaya
pemersatuan dengan memperluas keuntungan-keuntungan peradaban. ( contoh :
Napoleon III dalam upaya perdamaian sampai ke laut sebrang)
4. Fungsionalis
Integrasi
dibidang non-politik yang diharapkan mampu meluas dan semakin meluas
integrasinya jika unit-unit yang terlibat mendapat keuntungan dari
keterlibatannya dalam integrasi tersebut
5. Neo-Fungsionalis
Strategi yang
memerlukan beberapa pra kondisi untuk mencapai komunitas supra-nasional.
Strategi ini menitik beratkan pada proses kerja sama dalam perumusan keputusan
serta sikap para elit dalam memperhitunhkan kemajuan menuju integrasi.
6. Konfigurasionis
Diperlukan
adanya perbedaan-perbedaan kondisi dalam tiap kawasan untuk berintegrasi.
7. Pluralist
Security Community
Memfokuskan kepada
komitmen dan komunikasi dalam pembentukan sebuah integrasi,bukan pemusatan
kekuasaan.
Dalam mempermudah definisi dari Integrasi sendiri,
Walter S. Jones membagi definisi integrasi sendiri dalam empat sektor yaitu :
Ekonomi,sosial,politik,dan keamanan.
1. Ekonomi
Pasar bersama
merupakan salah satu contoh dari integrasi di bidang ekonomi. Bagaimana setiap
negara mengkonsolidasikan semua atau sebagian aktivitas perekonomian mereka.
2. Sosial
Pembelokan
preferensi nasional menuju loyalitas bagi kesatuan politik yang lebih besar.
3. Politik
Pengalihan
kedaulatan atas kebijakan eksternal ke tangan lembaga internasional bersama.
4. Keamanan
Aliansi adalah
salah satu bentuk integrasi dalam sektor keamanan. Dimana tiap-tiap negara
tergabung dalam satu persekutuan dalam menjaga keamanan negara.[3]
b.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Proses Integrasi
Terdapat beberapa
faktor yang memiliki pengaruh terhadap bagaimana proses Integrasi tersebut
dapat berlangsung. Dalam menjelaskan proses perubahan menuju integrasi, tipe
variabel mandirinya dapat dibedakan menjadi 3 faktor eksponensial. Pertama,
variabel politico-security, yang level of analisisnya ada pada negara, yang
perhatian terhadap power, responsiveness, kontrol elit politik dalam kebiasaan
politik publik umum dan dalam ancaman keamanan atas negara. Hal ini dilakukan
oleh penulis Pluralis dan Federalis. Berbeda dengan kaum fungsionalis dan
neo-fungsionalis yang menekankan pentingnya variabel sosial ekonomi, dan
teknologi, yang secara tidak langsung membawa perubahan dan penyatuan politik.
Faktor ketiga dipakai oleh kaum regionalis dalam analisanya, yaitu keberadaan
kedua variabel tersebut dalam proses integrasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
antara lain :
1. Federalisme
Perang
disebabkan oleh sistem negara bangsa yang anarkis. Transformasi menuju
integrasi terjadi jika rakyat melihat keuntungan dalam mentransfer power dan
loyalitasnya pada pemerintahan dunia. Pengopinian atas pengaturan dan
pemerintahan umat manusia, adalah melalui jalur diskusi dan edukasi.
Tujuannya adalah
formasi grup negara yang berdaulat yang menyatukan identitas internasionalnya
dalam entitas politik baru yang legal. Sementara jurisdiksinya dibagi, yaitu
komplementer antara negara dan pemerintah federal, tetapi memiliki power yang
mandiri. Menurut Etzioni, hasil akhirnya adalah sebuah komunitas politik yang
memiliki tiga macam integrasi. (a) kontrol efektif atas kekuatan koersif
(violence), (b) pemusatan pembuatan keputusan administratif atas unit-unit
ekonomi, (c) dan identifikasi politik. Sedangkan Pentland meringkasnya menjadi,
“integrasi bagi federallis adalah permasalahan high politics.
2. Pluralisme
Karl W Deutsch
adalah salah seorang penggagas pluralisme, ia berasumsi pada adanya tendensi
pada state untuk berintegrasi atau pun berkonflik dengan tetangganya dengan
(basic) perhitungan, pendirian (opini) publik dan pola-pola tingkah lakunya.
Konsepsi pluralis juga bersandar pada prioritas perdamaian internasional serta
keamanan nasional, dan asosiasi politik dengan aksi diplomatik stategis. Asumsi
lain yang tak kalah penting yaitu negara bangsa adalah pemusatan fakta atas
kehidupan politik modern sekaligus fokus pusat dari seluruh analisa politik.
Pentland
menjelaskan, bahwa integrasi oleh pluralis dipandang sebagai formasi dari
sebuah ‘community of states’, yang didefinisikan dengan sebuah level pertukaran
diplomatik, ekonomi, sosial dan budaya yang tinggi dan self-sustain di antara
anggotanya. Pendekatan ini sering disebut pula pendekatan komunikasi, yang
mengukur proses integrasi dengan mengamati aliran transaksi internasional,
seperti (perdagangan, turis, surat, dan imigran), yang pada akhirnya membuat
jalan bagi evolusi ‘komunitas keamanan’ (community of states) atau integrasi
sistem sosial politik.
Deutsch telah
menyusun dua tipe komunitas keamanan, yaitu tipe ‘amalgamasi’ (seperti USA)
yang memiliki karakteristik satu pemerintahan federal yang menjalankan pusat
kontrol politik atas sebuah kawasan seukuran benua; dan tipe ‘plural,’ yang
memiliki karakteristik kurangnya otoritas politik pusat, tetapi tiap unit
bangsa tidak berkelahi satu-sama lain dan tidak membentengi perbatasannya. Tujuan
integrasi politik bagi teoritisi pluralis adalah sebuah sistem internasional
negara-negara bangsa yang maju, tanpa institusi pemerintahan bersama, tetapi
pada saat yang sama terkarakteristikkan oleh sebuah komunikasi dan ‘mutual responsiveness’
tingkat tinggi diantara anggotanya yang mengubah resolusi konflik sebelumnya
yang cenderung melalui kekerasan yang tak dapat dibayangkan dalam (sehingga)
masa depan yang dapat diramalkan. Untuk benar-benar teintegrasi dalam pandangan
pluralis, negara harus membentuk sebuah ‘komunitas.’ Oleh karenanya, perasaan
akan kewajiban atas anggota yang lain harus benar-benar berakar lebih kuat
ketimbang hukum internasional atau sumber-sumber tradisional kerelaan
internasional (international compliance).
3. Fungsionalisme
Asumsi pertama
dari fungsionalisme adalah , manusia cukup rasional untuk merespon kebutuhannya
akan kerjasama jika itu membawanya pada keuntungan. Asumsi ini jelas sekali
menciptakan banyak sekali permintaan akan human reason. Kedua, manusia memiliki
sejumlah pengenalan alamiah, sehingga ia mampu menolak sesuatu hasil akhir dan
memilih hasil akhir lain yang tetap mengakomodasi kebutuhan mereka. Pada
akhirnya, manusia lebih memilih untuk tidak membunuh, ia lebih memilih
perdamaian, hukum, dan keteraturan. Ketiga, perang disebabkan oleh kemiskinan,
kesengsaraan, keputus-asaan, jika kondisi ini dapat dieliminasi, maka
rangsangan untuk menguatkan militer akan surut. Oleh karenanya, Fungsionalis
mendukung sebuah pendekatan bertahap atas kesatuan global yang didesain untuk
mengisolasi dan pada akhirnya mengubah kekeraskepalaan negara bangsa yang telah
usang. Keempat, kecemburuan atas kedaulatan dijumpai hanya dalam unit
teritorial, dan tidak pada fungsional. Oleh karena itu, koordinasi perbanyakan
agensi yang overlapping tidak sesulit mendamaikan negara-negara. Kelima,
optimisme bahwa organisasi yang didesain untuk sebuah kebutuhan atau
permasalahan spesifik akan hilang manakala kebutuhan tersebut terpenuhi.
Fungsionalisme
adalah teori paling tua yang membahas integrasi, dimana ia membangun
‘perdamaian dengan potongan-potongan’ lewat organisasi transnasional yang fokus
pada kedaulatan bersama ketimbang menyerahkan kedaulatan masing-masing negara
pada sebuah institusi supranasional.
4. Neo
Fungsionalisme
Ernst Haas
sebagai penganut utama teori ini ingin memperbaiki fungsionalisme klasik agar
lebih realistik dan penuh arti, agar relevan dan memiliki hubungan yang tertata
dengan pendekatan teoritis lain dalam ilmu sosial, dan menciptakan proposisi
yang teruji melalui bukti-bukti empiris sejarah integrasi Eropa.
Asumsi yang
digunakan, pertama adalah bahwa kehidupan sosial didominasi oleh kompetisi
antar kepentingan. Kedua, adanya konsensus di mana kolompok-kelompok diajak
untuk mengejar kepentingannya melalui kerangka kerja yang mengharapkan proses
integrasi. Ketiga, keadaan psikologi elit dalam integrasi memuncak dalam
kemunculan sistem politik yang baru. Keempat, neofungsionalisme mengutamakan
faktor politik dalam proses penggabungan negara-negara merdeka.
Neofungsionalisme mengharap pencapaian masyarakat supranasional dengan
menekankan kerjasama di daerah yang secara politik kontroversial. Teori ini
memandang integrasi politik bukan suatu kondisi tapi proses perubahan yang
mengarah pada masyarakat politik.
5. Regionalisme
Terminologi ini
digunakan untuk mengambarkan integrasi regional untuk memelihara keseragaman
dengan sub aliran lainnya, seperti federalisme, pluralisme, fungsionalisme, dan
neofungsionalisme. Kesuksesan teori integrasi di Eropa Barat menghasilkan
kepercayaan bahwa transisi dari sistem negara menuju masyarakat global yang
terintegrasi dapat menggunakan jalan integrasi regional. Teori ini
mengasumsikan prospek yang lebih baik berkaitan dengan hal-hal politik dalam
isu-isu perang dan damai, integrasi dan unifikasi.
Kesamaan budaya,
ekonomi, politik, ideologi, dan geografis dalam suatu wilayah diasumsikan dapat
memunculkan organisasi yang lebih efektif. Organisasi regional telah siap untuk
bekerjasama, dan pengalaman organisasi regional yang sukses akan mempengaruhi
dan mendorong ke arah integrasi yang lebih jauh. Regionalisme dapat
menghasilkan “model masyarakat” atau “model negara.” Bentuk regionalisme dapat
dibedakan berdasarkan kriteria geografis, militer/politik, ekonomi, atau
transaksional, bahasa, agama, kebudayaan, dll. Tujuan utama dari organisasi regional
adalah untuk menciptakan perjanjian perdamaian dan kerjasama yang saling
menguntungkan di berbagai aspek dan penguatan area saling ketergantungan pada
negara-negara superpower.
Tren ke arah
regionalisme terus berlangsung. Pada tahun 1990-an negara-negara di seluruh
dunia telah membentuk perjanjian perdagangan regional (RTAs) seperti yang telah
terjadi di negara- negara Eropa, Afrika, Asia Timur, Timur Tengah, dan
negara-negara di belahan bumi bagian barat. Hal ini menunjukkan perkembangan
regionalisme terus berlanjut.
c.
Contoh
Integrasi
Terbentuknya
European Union/ Uni Eropa.
Dimulai pada
tahun 1951,dimana enam negara Eropa yaitu Perancis,Jerman, Belanda, Italia,
Belgia,dan Luxemburg menandatangani kerja sama batu bara dan baja atau yang
dikenal dengan European Coal and Steel Community (ECSC). Lalu pada perjanjian Roma tahun 1957,kerja
sama tersebut dikembagkan dengan menambah dua organisasi baru yaitu European Economic Community (EEC),
dan European Atomic Energy
Community (EAEC/Euratom). Ketiga
organisasi ini tergabung dalam satu wadah yang dikenal dengan European Community (EC).
Terbentuknya Single European Act (SEA) tahun 1987
menjadi perubahan penting dalam proses integrasi di Eropa. Tujuan terbentuknya Single European Act (SEA) adalah untuk
mengupayakan menciptakan arus perpindahan manusia,modal,barang dan jasa. Dalam
kelembagaan, Single European Act (SEA) berupaya untuk mereformasi proses
pembuatan keputusan yang terhadang dan membuat itu menjadi lebih cepat.
Perjanjian
Maastricht tahun 1992 menyatakan bahwa komunitas Eropa berubah menjadi satu
kesatuan yang disebut dengan European
Union (UE) yang didasarkan pada tiga pilar yaitu :European Community (EC), Common Foreign and Security Policy
(CFSP), serta keadilan dan masalah-masalah domestik. Tahun 1995,anggota mencapai
15 negara dan pada tahun 2005 beranggotakan 25 negara.
d.
Analisis
Contoh Pada Teori
Integrasi Eropa telah melalui proses yang panjang untuk
sampai pada tahapan pembentukan Uni Eropa saat ini. Perlu beberapa tindakan
untuk menyatukan pemahaman tantang perdamaian sehingga konsep integrasi yang
dicita-citakan liberalism dapat diterima oleh negara-negara di kawasan Eropa.
Dalam sejarahnya, Eropa adalah kawasan yang sangat berpotensi terjadinya
konflik, hal ini dikarenakan peradaban yang tinggi sehingga setiap golongan
ingin menunjukkan eksistensinya dan menganggap masing-masing dari mereka adalah
yang terbaik. Cara menunjukkan eksistensinya itu adalah dengan cara
memperlihatkan kekuatan mereka masing-masing.
Asumsi Neo-fungsionalisme terbukti pada
terbentuknya Uni Eropa. Dimana asumsi bahwa dorongan kepentingan aktor-aktor
politik menjadikan integrasi tersebut dapat terbentuk terjadi di Eropa, Eropa
dianggap sebagai negara industri modern yang memunculkam kelompok-kelompok
kepentingan, dimana kelompok kepentingan ini bukan didorong oleh upaya
pemenuhan kebakan bersama namun kepentingan sendiri. Para pemangku kepentingan
berlomba-lomba memasukkan kepentingan kelompok mereka agar dimasukkan dalam
pengambilan keputusan.
Integrasi pada awalnya dimulai dengan bidang low-politics yaitu sektor batu bara dan
baja. Lalu berlanjut pada dan menyebar menjadi suatu kesatuan yang utuh seperti
Uni Eropa pada saat ini. Berawal dari hanya 6 negara,sampai saat ini sudah ada
43 negara yang bergabung dalam Uni Eropa. Kesamaan letak geografis,budaya,sistem
politik menjadikan kerja sama antar negara di kawasan Eropa semakin mudah.
Integritasi dari nasionalis menjadi supra nasionalis sudah tercapai dimana
masyarakat Eropa sudah bersatu dalam Europe
Community (EC).
e.
Daftar
Pustaka
Buku
:
1.
Asrudin & Suryana,
Mirza Jaka. 2009. Refleksi Teori Hubungan Internasional: dari Tradisional ke
Kontemporer. Jakarta: Graha Ilmu.
Website :
[1] http://kbbi.web.id/integrasi
diakses pada tangga 17 Oktober 2016
[2] Refleksi Teori Hubungan Internasional: dari Tradisional Ke
Kontemporer Hal.129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar